Anggaran Bantuan Rp48,01 Miliar untuk Daerah Terpadat Buta Aksara

Anggaran Bantuan Rp48,01 Miliar
untuk Daerah Terpadat Buta Aksara

JAKARTA. Sebagai tanda keberlanjutan “perjuangan” pemberantasan buta aksara, tahun ini Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal (Ditjen PAUDNI) mengganggarkan bantuan sebesar Rp48,01 miliar. Bantuan ini diprioritaskan bagi daerah terpadat buta aksara di Indonesia.

“Meskipun, Indonesia sudah mengurangi 50 persen jumlah buta aksara sejak tahun 2000, dan berhasil melampaui target yang harusnya dicapai pada tahun 2015, tapi jumlah buta aksara di Indonesia masih besar,” kata Direktur Jenderal PAUDNI di Jakarta, Kamis (31/1).

Dijelaskan Lydia, yang akrab dikenal dengan Reni Akbar-Hawadi, berdasarkan data tahun 2011 jumlah penduduk Indonesia berusia 15-59 tahun yang masih buta aksara ada 6,7 juta orang. Sebanyak 2,26 juta orang adalah laki-laki dan 4,46 juta perempuan.

Berdasarkan penyebarannya, sebanyak 5,41 juta orang atau 80,52 persen buta aksara berada di 13 provinsi di Indonesia. Di antara daerah-daerah tersebut, secara khusus terdapat enam provinsi dengan jumlah buta aksara lebih dari 200.000 orang. Jawa Timur dan Jawa Tengah pun bertengger pada peringkat atas daerah terpadat buta aksara.

Dari provinsi-provinsi tersebut, sebanyak 2,54 juta orang tersebar di 33 kabupaten dengan jumlah buta aksara di atas 50.000 orang. Kabupaten Nias Selatan di Sumatera Utara menjadi yang terpadat di Indonesia.

Di daerah-daerah terpadat buta aksara itulah pemberian bantuan akan diutamakan. Untuk mengentaskan buta aksara di ketiga belas provinsi itu, telah dianggarkan sejumlah dana bantuan sebesar Rp24,77 miliar dari Ditjen PAUDNI. Sementara untuk 33 kabupaten yang terpadat buta aksara, dianggarkan bantuan sejumlah Rp23,22 miliar. Dari anggaran itu ditargetkan sejumlah 133.320 orang sasaran bisa tersentuh.

Harus tuntas

Keberadaan buta aksara memiliki hubungan yang erat dengan tingkat kemiskinan. Setidaknya, berdasarkan data Ditjen PAUDNI, terdapat tujuh provinsi dengan angka kemiskinan yang tinggi disertai jumlah buta aksara yang tinggi, yaitu Papua Barat, Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tengggara Barat (NTB), Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Timur.

Penduduk buta aksara umumnya tinggal di daerah perdesaan seperti petani kecil, buruh, nelayan, dan kelompok masyarakat miskin perkotaan yaitu buruh penghasilan rendah atau penganggur.

Mereka tertinggal dalam hal pengetahuan, keterampilan, serta sikap mental pembaharuan dan pembangunan. Akibatnya akses terhadap informasi dan komunikasi juga terbatas mereka akses karena tidak memiliki kemampuan keaksaraan yang memadai.

Itulah sebabnya, penuntasan buta aksara menjadi salah satu perhatian Pemerintah. Untuk mempercepat penuntasan buta kasara, Reni menyatakan, inovasi model pembelajaran perlu untuk selalu dikembangkan oleh unit pelaksana teknis di lingkungan Ditjen PAUDNI.

“Inovasi itu muncul dari keberanian berpikir di luar kebiasaan, think out of the box. Selain itu inovasi juga memenuhi kelancaran berpikir, fleksibel, elaborasi, dan tentunya penting sekali bersifat orisinal, “ ujar Reni menjelaskan.

Diingatkan pula oleh Reni, model pembelajaran yang dikembangkan harus mencakup segala umur. Penduduk buta aksara yang berusia 60 tahun ke atas, kata Reni, juga memiliki hak memperoleh pendidikan. Jumlah mereka pun tidak sedikit.

“Jika penduduk buta aksara di Indonesia dihitung hingga usia 60 tahun ke atas, maka jumlah mereka besar sekali, mencapai 13,9 juta orang,” ujar Reni. (Dina Julita/HK)


Komentar