PROFESIONALISME GURU DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH


oleh:
*)Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S.

PENDAHULUAN
Tuntutan terhadap lulusan dan layanan lembaga pendidikan yang bermutu semakin
mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi
globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang lembaga
pendidikan asing membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan antar
lembaga penyelenggara pendidikan dan pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin
besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan kecuali hanya mengupayakan
segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik dan
layanan lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan.
Dalam tulisan ini dibahas tentang paradigma baru dalam pendidikan, apa dan mengapa
mutu, etos kerja dan profesionalisme guru serta tantangan dunia pendidikan terkait dengan
perkembangan teknologi informasi dan otonomi daerah/desentralisasi pendidikan.



PARADIGMA BARU
Untuk mencapai terselenggaranya pendidikan bermutu, dikenal dengan paradigma baru
manajemen pendidikan yang difokuskan pada otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan
evaluasi. Keempat pilar manajemen ini diharapkan pada akhirnya mampu menghasilkan
pendidikan bermutu (Wirakartakusumah, 1998).
1. Mutu
Mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai
cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara
luas mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa yang
memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara
kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses dan
hasil belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan.
Pelanggan bisa berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut
atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk atau hasil dan jasa tersebut.
2. Otonomi
Pengertian otonomi dalam pendidikan belum sepenuhnya mendapatkan kesepakatan
pengertian dan implementasinya. Tetapi paling tidak, dapat dimengerti sebagai bentuk
pendelegasian kewenangan seperti dalam penerimaan dan pengelolaan peserta didik dan
staf pengajar/staf non akademik, pengembangan kurikulum dan materi ajar, serta
penentuan standar akademik. Dalam penerapannya di sekolah, misalnya, paling tidak
bahwa guru/pengajar semestinya diberikan hak-hak profesi yang mempunyai otoritas di
kelas, dan tak sekedar sebagai bagian kepanjangan tangan birokrasi di atasnya.
3. Akuntabilitas
Akuntabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output dan outcome
yang memuaskan pelanggan. Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuan lembaga
pendidikan tersebut dengan kenyataan dalam hal norma, etika dan nilai (values) termasuk
semua program dan kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini memerlukan transparansi
(keterbukaan) dari semua fihak yang terlibat dan akuntabilitas untuk penggunaan semua
sumberdayanya.
4. Akreditasi
Akreditasi merupakan suatu pengendalian dari luar melalui proses evaluasi tentang
pengembangan mutu lembaga pendidikan tersebut. Hasil akreditasi tersebut perlu
diketahui oleh masyarakat yang menunjukkan posisi lembaga pendidikan yang
bersangkutan dalam menghasilkan produk atau jasa yang bermutu. Pelaksanaan
akreditasi dilakukan oleh suatu badan independen yang berwenang. Di Indonesia
pelaksanaan akreditasi pendidikan untuk Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan
Akreditasi Nasional (BAN) dan sekolah-sekolah menengah ke bawah oleh Badan
Akreditasi Sekolah (BAS).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan dan memproses informasi
yang menghasilkan kesimpulan tentang nilai, manfaat, serta kinerja dari lembaga
pendidikan atau unit kerja yang dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi
tersebut dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 4
secara internal atau eksternal. Suatu evaluasi akan lebih bermanfaat bila dilakukan secara
berkesinambungan. Salah satu evaluasi terpenting dalam pendidikan adalah evaluasi diri
(self evaluation) yang dilakukan bertahap dan terus menerus atas seluruh komponenkomponen
pendidikan.
APA DAN MENGAPA MUTU
Mutu adalah sifat dari benda dan jasa. Setiap orang selalu mengharapkan bahkan
menuntut mutu dari orang lain, sebaliknya orang lain juga selalu mengharapkan dan
menuntut mutu dari diri kita. Ini artinya, mutu bukanlah sesuatu yang baru, karena mutu
adalah naluri manusia. Benda dan jasa sebagai produk dituntut mutunya, sehingga orang lain
yang menggunakan puas karenanya. Dengan demikian, mutu adalah paduan sifat-sifat dari
barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan
pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat.
Benda dan jasa sebagai hasil kegiatan manusia yang secara sadar dilakukannya
disebut “kinerja”. Kinerja itulah yang dituntut mutunya, sehingga muncul istilah “mutu
kinerja manusia”. Suatu kinerja disebut bermutu jika dapat menemuhi atau melebihi
kebutuhan dan harapan pelanggannya. Oleh karena itu, maka suatu produk atau jasa sebagai
kinerja harus dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan
pelanggannya.
Dalam pembicaraan tentang mutu, terdapat unsur-unsur yang terkait, yaitu: produk
dan jasa, penghasil produk/jasa, pelanggan, kebutuhan dan harapan, produk/jasa yang
bermutu dan kepuasan.
Produk dan jasa adalah hasil yang diproduksi karena ada yang memerlukan. Orang
yang membuat produk atau jasa disebut penghasil produk/jasa, sedangkan orang yang
memerlukan produk/jasa itu disebut pelanggan. Adapun kebutuhan dan harapan adalah
cerminan dari apa saja yang diharapkan atau dibutuhkan oleh pelanggan dari pihak penghasil
produk/jasa. Adanya produk/jasa yang disebut bermutu bila dapat memenuhi atau bahkan
melebihi dari sekedar kebutuhan dan harapan pelanggan/ penggunanya, yang ditandai
dengan kepuasan.
Ciri-ciri mutu (sebagai bentuk pelayanan pelanggan) ditandai dengan: (1) ketepatan
waktu pelayanan, (2) akurasi pelayanan, (3) kesopanan dan keramahan (unsur
menyenangkan pelanggan), (4) bertanggung jawab atas segala keluhan (complain)
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 5
pelanggan, (5) kelengkapan pelayanan, (6) kemudahan mendapatkan pelayanan, (7) variasi
layanan, (8) pelayanan pribadi, (9) kenyamanan, (10) dan ketersediaan atribut pendukung
(Slamet, 1999).
Setiap produk/jasa yang bermutu memberikan pelayanan tepat waktu seperti yang
disepakati dengan pelanggan. Kemoloran atau tertundanya waktu dari yang telah disepakati
menjadi cacat mutu karena cidera janji.
Akurasi pelayanan atau ketepatan produk/jasa seperti yang diminta atau dipesan oleh
pelanggan juga merupakan salah satu dari ciri mutu pelayanan. Kesalahan atau
kemelencengan dari apa yang dipesan, menyebabkan produk/jasa tersebut tidak bermanfaat
bahkan mendatangkan kerugian bagi pelanggan. Untuk itu menjadi penting melakukan
proses pendefisian kebutuhan pelanggan sebelum proses produksi/layanan dilakuan.
Setiap pelayanan yang bermutu harus menyenangkan pelanggan, sehingga kesopanan
dan keramah-tamahan dalam berkomunikasi dengan pelanggan menjadi unsur penting untuk
menjaga mutu. Ungkapan sehari-hari dalam dunia bisnis: “pembeli adalah raja” maksudnya
adalah berusaha menyenangkan pembeli agar kembali lagi untuk membeli di kesempatan
lain.
Setiap penghasil produk/jasa harus berani bertanggung jawab atas segala yang telah
diperbuatnya, ia harus mempertanggung jawabkan atas segala resiko yang diakibatkan oleh
pekerjaan itu. Semua yang menjadi keluhan (complain) pelanggan harus dipertanggung
jawabkan, jika produk tidak sesuai dengan yang dipesan/dibutuhkan sesuai janji kesepakatan
sebelumnya, maka ia harus bertanggung jawab untuk menggantinya.
Sebagai penghasil produk/jasa haruslah selengkap mungkin menyediakan sarana dan
kemampuan yang diperlukan oleh pelanggan. Ini artinya, bahwa penghasil produk/jasa
haruslah profesional dan kompeten dengan bidangnya. Selain itu, sebagai penghasil
produk/jasa haruslah memberikan kemudahan kepada pelanggan untuk mendapatkan
produk/jasa tersebut, baik yang berhubungan dengan waktu, tempat, atau kemudahan
menjangkaunya.
Bentuk pelayanan hendaknya juga bervariasi, sehingga banyak pilihan bagi
pelanggan. Inovasi haruslah digalakkan sehingga banyak temuan untuk menunjang variasi
layanan tersebut.
Sedapat mungkin pelayanan bersifat pribadi lebih ditonjolkan, sehingga tidak
terkesan kaku, fleksibel dan terkesan ada penanganan khusus bagi pelanggan. Kenyamanan
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 6
pelayanan harus pula diciptakan, misalnya berhubungan dengan lokasi/ruangan, fasilitas
pelayanan yang memadai seperti petunjuk-petunjuk yang mudah dikenali oleh pelanggan,
dan ketersediaian informasi yang dibutuhkan oleh pelanggan.
Peranan atribut pendudukung seperti lingkungan yang nyaman, kebersihan yang
standar, ruangan ber AC, ruang tunggu dan lain-lain yang bersifat penunjang sangat
diperlukan bagi suksesnya pelayanan mutu. Oleh karena itu perlu diperhatikan.
Konsep mutu sebenarnya selain bersifat absolut juga bersifat relatif dari
pelanggannya. Mutu yang bersifat absolut menunjuk pada suatu produk/jasa yang standar
tertentu, dipatok dengan ukuran tertentu oleh suatu lembaga yang memiliki otonomi untuk
itu. Mutu suatu produk/jasa yang bersifat relatif berarti tergantung pada
konsumennya/pelanggannya bagaimana mereka menetapkan standar kebutuhan dan
harapannya.
Mengapa produk/jasa harus bermutu? Dalam persaingan bebas kita seharusnya
berorientasi pada kebutuhan dan harapan konsumen atau pelanggan (customers). Jika
produk/layanan hasil kinerja kita tidak bermutu, maka customers akan meninggalkan kita,
karena ada alternatif lain yang bisa dipilih oleh mereka. Jika penghasil produk/jasa ingin
tetap berlangsung usahanya (dipakai oleh customers), maka ia harus menjaga mutu bahkan
meningkatkan mutu produk/jasa layanannya seiring dengan tuntutan kebutuhan dan harapan
customers.
Adapun sifat-sifat pokok mutu jasa, menurut Slamet (1999) adalah mengadung
unsur-unsur: (1) keterpercayaan (reliability), (2) keterjaminan (assurance), (3) penampilan
(tangibility), (4) perhatian (emphaty), dan (5) ketanggapan (responsiveness).
Keterpercayaan dapat dihasilkan dari sikap dan tindakan seperti: jujur, tepat waktu
pelayanan, terjaminnya rasa aman dengan produk/jasa yang dipergunakan/diperoleh, dan
ketersediaan produk/jasa saat dibutuhkan pelanggan.
Keterjaminan suatu mutu jasa dapat ditimbulkan oleh kondisi misalnya penghasil
produk/jasa memang kompeten dalam bidangnya, obyektif dalam pelayanannya, tampil
dengan percaya diri dan meyakinkan pelanggannya.
Penampilan adalah sosok dari produk/jasa dan hasil karyanya. Misalnya bersih,
sehat, teratur dan rapi, enak dipandang, serasi, berpakaian rapi dan harmonis, dan
buatannya baik.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 7
Empati adalah berusaha merasakan apa yang dialami oleh pelanggan (“seandainya
saya dia”). Cara berempati dapat dinyatakan dengan penuh perhatian terhadap pelanggan,
melayani dengan ramah dan memuaskan, memahami keinginan pelanggan, berkomunikasi
dengan baik dan benar, dan bersikap penuh simpati.
Adapun ketanggapan adalah ungkapan cepat tanggap dan perhatian terhadap
keluhan pelanggan. Ungkapan tersebut dapat dinyatakan dengan cepat memberi respon pada
permintaan pelanggan dan cepat memperhatikan dan mengatasi keluhan pelanggan.
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak
lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelangggannya
yang utamanya yaitu kepada mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut.
Para pelanggan layanan pendidikan dapat terdiri dari berbagai unsur paling tidak
empat kelompok (Sallis, 1993). Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa merupakan
mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary
external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan
dari lembaga tersebut. Kedua, para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke
lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka
ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan
lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah lapangan kerja, bisa pemerintah maupun
masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers). Selain itu, yang
keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal
dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi
lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun
para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut
terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari
hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena
semakin maju dan berkualitas dari suatu lembaga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik
kebanggaan maupun finansial (Karsidi, 2000).
Seperti disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada
kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah
memperhatikan kebutuhan dan harapan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan
kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan
bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 8
ETOS KERJA DAN PROFESIONALISME GURU
Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam
dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu: profesi, semi
profesi, terampil, tidak terampil, dan quasi profesi.
Gilley dan Eggland (1989) mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia
berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh
masyarakat. Definisi ini meliputi aspek yaitu :
a. Ilmu pengetahuan tertentu
b. Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan
c. Berkaitan dengan kepentingan umum
Aspek-aspek yang terkandung dalam profesi tersebut juga merupakan standar
pengukuran profesi guru.
Proses profesional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi
dan sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status professional (peningkatan
status). Secara teoritis menurut Gilley dan Eggland (1989) pengertian professional dapat
didekati dengan empat prespektif pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan
bertahap, orientasi karakteristik, dan orientasi non-tradisonal.
1. Orientasi Filosofi
Ada tiga pendekatan dalam orientasi filosofi, yaitu pertama lambang keprofesionalan
adalah adanya sertifikat, lissensi, dan akreditasi. Akan tetapi penggunaan lambang ini
tidak diminati karena berkaitan dengan aturan-aturan formal. Pendekatan kedua yang
digunakan untuk tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu, yaitu
pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan aturan yang
bersifat pribadi. Yang penting bahwa layanan individu pemegang profesi diakui oleh dan
bermanfaat bagi penggunanya. Pendekatan ketiga: electic, yaitu pendekatan yang
menggunakan prosedur, teknik, metode dan konsep dari berbagai sumber, sistim, dan
pemikiran akademis. Proses profesionalisasi dianggap merupakan kesatuan dari
kemampuan, hasil kesepakatan dan standar tertentu. Pendekatan ini berpandangan
bahwa pandangan individu tidak akan lebih baik dari pandangan kolektif yang
disepakati bersama. Sertifikasi profesi memang diperlukan, tetapi tergantung pada
tuntutan penggunanya.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 9
2. Orientasi Perkembangan
Orientasi perkembangan menekankan pada enam langkah pengembangan
profesionalisasi, yaitu:
a. Dimulai dari adanya asosiasi informal individu-individu yang memiliki minat
terhadap profesi.
b. Identifikasi dan adopsi pengetahuan tertentu.
c. Para praktisi biasanya lalu terorganisasi secara formal pada suatu lembaga.
d. Penyepakatan adanya persyaratan profesi berdasarkan pengalaman atau kualifikasi
tertentu.
e. Penetuan kode etik.
f. Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu (termasuk syarat akademis) dan
pengalaman di lapangan.
3. Orientasi Karakteristik
Profesionalisasi juga dapat ditinjau dari karakteristik profesi/pekerjaan. Ada delapan
karakteristik pengembangan profesionalisasi, satu dengan yang lain saling terkait:
a. Kode etik
b. Pengetahuan yang terorganisir
c. Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus
d. Tingkat pendidikan minimal yang dipersyaratkan
e. Sertifikat keahlian
f. Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memangku tugas dan
tanggung jawab
g. Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide di antara anggota profesi
h. Adanya tindakan disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek oleh anggota
profesi
4. Orientasi Non-Tradisional
Perspektif pendekatan yang keempat yaitu prespektif non-tradisonal yang menyatakan
bahwa seseorang dengan bidang ilmu tertentu diharapkan mampu melihat dan
merumuskan karakteristik yang unik dan kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu
perlu dilakukan identifikasi elemen-elemen penting untuk sebuah profesi, misalnya
termasuk pentingnya sertifikasi professional dan perlunya standarisasi profesi untuk
menguji kelayakannya dengan kebutuhan lapangan.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 10
Tentu saja, pekerjaan guru tidak diragukan untuk dapat dikatakan sebagai profesi
pendidikan dan pengajaran. Namun, hingga kini “pekerjaan untuk melakukan pendidikan
dan pengajaran” ini masih sering dianggap dapat dilakukan oleh siapa saja. Inilah
tantangan bagi profesi guru. Paling tidak hal ini masih sering terjadi di lapangan.
Profesionalisme guru perlu didukung oleh suatu kode etik guru yang berfungsi
sebagai norma hukum dan sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Kelembagaan
profesi guru (seperti PGRI) sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru
karena alasan struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harus
dikuasai oleh para guru profesional. Kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan
atau keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian
haruslah dipandang perlu sebagai prasarat untuk menjadi guru profesional. Menurut
Surya (2003) guru yang profesional harus menguasai keahlian dalam kemampuan materi
keilmuan dan ketrampilan metodologi. Guru juga harus memiliki rasa tanggung jawab
yang tinggi atas pekerjaannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara,
lembaga dan organisasi profesi. Selain itu, guru juga harus mengembangkan rasa
kesejawatan yang tinggi dengan sesama guru. Disinilah peran Perguruan Tinggi
Pendidikan dan organisasi profesi guru (seperti PGRI) sangat penting. Kerjasama antar
keduanya menjadi sangat diperlukan. Lembaga Pendidikan dalam memproduk guru yang
profesional tidak dapat berjalan sendiri, kecuali selain harus bekerjasama dengan
lembaga profesi guru, dan sebaliknya.
Untuk itu, maka pengembangan profesionalisme guru juga harus mempersyaratkan
hidup dan berperanannya organisasi profesi guru tenaga kependidikan lainnya yang
mampu menjadi tempat terjadinya penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota
dalam menjaga kode etik dan pengembangan profesi masing-masing.
Orientasi mutu, profesionalisme dan menjunjung tinggi profesi harus mampu
menjadi etos kerja guru. Untuk itu maka, kode etik profesi guru harus pula ditegakkan
oleh anggotanya dan organisasi profesi guru harus pula dikembangkan kearah memiliki
otoritas yang tinggi agar dapat mengawal profesi guru tersebut.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 11
TANTANGAN PROFESI GURU
(1) Perkembangan Teknologi Informasi
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi
informasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak.
Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan
guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan
guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapat
dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya
justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang
dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi
pendidikan di lapangan.
Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan
sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi
satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan
waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyak
sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.
Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan mereformasi sistem
pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri,
mencipta, dan menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi
lingkungannya (keluarga dan masyarakat) serta peran sekolah tidak hanya menekankan
untuk mendapatkan nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat
menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana
agar lulusan suatu sekolah dapat cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya,
tapi juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di masa yang
akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi
menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan besar,
tenaga yang banyak dan perangkat lainnya. Sekolah harus bekerja sama secara
komplementer dengan sumber belajar lain terutama fasilitas internet yang telah menjadi
“sekolah maya”.
Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi di masa yang akan datang,
keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus
sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 12
tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak dapat tergantikan, misalnya
hubungan guru-murid dalam fungsi mengembangkan kepribadian atau membina
hubungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, dan lain-lain. Teknologi informasi
hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber belajar atau
sumber bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, lalu
dapat diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan melalui jaringan internet
yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara individu. (Karsidi, 2004)
Inilah tantangan profesi guru. Apakah perannya akan digantikan oleh teknologi
informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang peran
profesinya.
Dunia pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistim pendidikan agar
tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan teknologi informasi tersebut.
Melalui penerapan dan pemilihan teknologi informasi yang tepat (sebagai bagian dari
teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan.
Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong
orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan.
Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan karena
mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang
baik bila lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan
berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian
mutu pendidikan.
Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus
dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu
pendidikan kita.
(2) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Kini, paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigma
desentralistik. Sejak diundangkan UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah maka
menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara
sentralistik. Menurut Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi, 2001), bahwa salah
satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan pengertian rakyat serta
dukungan mereka dalam kegiatan pembangunan dan melatih rakyat untuk dapat
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 13
mengatur urusannya sendiri. Ini artinya, bahwa kemauan berpartisipasi masyarakat
dalam pembangunan (termasuk dalam pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan
dan ruang partisipasi perlu dibuka selebar-lebarnya.
Bergesernya paradigma pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah
mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat
itu sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung
arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari
proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya
dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus mampu meningkatkan
kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapinya, baik secara individual
maupun secara kolektif.
Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah sangat dominan dan
peranserta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan
terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat
haruslah menjadi bagian dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam era
globalisasi. Peranserta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar
kewajiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda
pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut
mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan bagi dirinya atau kelompoknya.
(Karsidi, 2004)
Desentralisasi adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah,
untuk mendistribusikan beban pemerintah pusat ke daerah sehingga daerah dan
masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut. Tujuannya adalah: (1) mengurangi
beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil di tingkat
lokal, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat, (3) menyusun program-program
perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur urusannya
sendiri, (5) membina kesatuan nasional yang merupakan motor penggerak
memberdayakan daerah. Dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih
berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar (menetapkan standar mutu
pendidikan secara nasional), sementara kebijaksanaan operasional yang menyangkut
variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 14
Kurikulum dan proses pendidikan dalam kerangka otonomi daerah, ada bagian
yang perlu dibakukan secara nasional, tetapi hanya terbatas pada beberapa aspek pokok,
yaitu: (1) Substansi pendidikan yang berada dibawah tanggungjawab pemerintah, seperti
PKN, Sejarah Nasional, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia; (2) Pengendalian
mutu pendidikan, berdasarkan standar kompetensi minimum; (3) Kandungan minimal
konten setiap bidang studi, khususnya yang menyangkut ilmu-ilmu dasar; (4) Standarstandar
teknis yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan.
Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan
pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan kebutuhan
sumber daya untuk suatu sekolah agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah
mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula
di lembaga-lembaga pendidikan lainnya nonsekolah, ruang partisipasi tersebut harus
dibuka lebar agar tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada
lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara
negara.
Cara untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi cara
sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan
lembaga pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang
kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa
menampung sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat
(termasuk orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk
kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan
pendidikan.
Sebagai contoh tentang partisipasi dunia usaha/industri pada era otonomi daerah.
Mereka tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga pendidikan/sekolah sampai
dapat meluluskan alumninya, lalu menggunakannya jika menghasilkan output yang baik
dan mengkritiknya jika terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industri
terhadap lembaga pendidikan harus ikut bertanggung jawab untuk menghasilkan output
yang baik sesuai dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompok-kelompok
masyarakat lain, termasuk orang tua siswa. Dengan cara seperti itu, maka mutu
pendidikan suatu lembaga pendidikan akan menjadi tanggung jawab bersama antara
lembaga pendidikan dan komponen-komponen lainnya di masyarakat.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 15
PENUTUP
Dalam rangka mencapai mutu yang tinggi dalam bidang pendidikan, peranan guru
sangatlah penting bahkan sangat utama. Untuk itu, maka profesionalisme guru harus
ditegakkan dengan cara pemenuhan syarat-syarat kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap
guru, baik di bidang penguasaan keahlian materi keilmuan maupun metodologi. Guru harus
bertanggungjawab atas tugas-tugasnya dan harus mengembangkan kesejawatan dengan
sesama guru melalui keikutsertaan dan pengembangan organisasi profesi guru.
Untuk mencapai kondisi guru yang profesional, para guru harus menjadikan orientasi
mutu dan profesionalisme guru sebagai etos kerja mereka dan menjadikannya sebagai
landasan orientasi berperilaku dalam tugas-tugas profesinya. Karenanya, maka kode etik
profesi guru harus dijunjung tinggi.
Dalam perkembangannya, disadari bahwa profesi guru belum dalam posisi yang ideal
seperti yang diharapkan, namun harus terus diperjuangkan menuju yang terbaik. Pada saat
diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan yang bersamaan dengan
tumbuh dan berkembangnya teknologi informasi yang sangat pesat, dipahami bahwa banyak
tantangan sekaligus peluang yang harus dihadapi untuk dapat diselesaikan oleh para guru
dan lembaga penyelenggara pendidikan. Tantangan dan peluang tersebut antara lain:
berubahnya peran guru dalam manajemen proses belajar mengajar, kurikulum yang
terdesentralisasi, pemanfaatan secara optimal sumber-sumber belajar lain dan teknologi
informasi, usaha pencapaian layanan mutu pendidikan yang optimal, dan penegakan
profesionalisme guru. Para guru mempunyai tantangan untuk dapat beradaptasi dengan
sebaik-baiknya dalam situasi transisi, agar dapat memperkecil dampak negatif dan
memperbesar dampak positifnya. Menyikapi hal-hal demikian, tidak lain maka para guru
haruslah dapat mengembangkan suatu perilaku adaptif agar berhasil mengemban profesinya
di era otonomi daerah dan era global ini. Dengan cara demikian, karena guru adalah “soko
guru” pendidikan, mudah-mudahan peningkatan mutu pendidikan di era otonomi daerah
segera akan tercapai. Semoga (rk).
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 16

DAFTAR RUJUKAN
Gilley, Jerry W. dan Steven A. Eggland, 1989. Principles of Human Resourches
Development. New York: Addison Wesley Pub. Company. Inc.
Jalal, Fasli dan Dedi Supriyadi (ed). 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi
Daerah. Yogyakarta: Adicipta.
Karsidi, Ravik. 2000. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Bahan Ceramah di
Pondok Assalam, Surakarta 19 Februari.
-----, 2004. Reaktualisasi Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Pendidikan di
Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sosiologi Pendidikan
pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret.
Sallis, Edward. 1993. Total Quality Management in Education, Kogam Page, London.
Slamet, Margono, 1999. Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu
Terpadu, IPB Bogor.
Surya, Muhammad. 2003. Percikan Perjuangan Guru. Semarang: Aneka Ilmu.
Wirakartakusumah, Aman. 1998. Pengertian Mutu Dalam Pendidikan, Lokakarya MMT
IPB, Kampus Dermaga Bogor, 2-6 Maret
Wen, Sayling. 2003. Future of Education (Masa Depan Pendidikan), alih bahasa Arvin
Saputra, Batam: Lucky Publisher.


Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dewan Pendidikan Kabupaten Wonogiri, 
23 Juli 2005
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 
*) Pembantu Rektor I Bidang Akademik dan Guru Besar Sosiologi Pendidikan FKIP UNS Solo.
Seminar Nasional Pendidikan “Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan
di Era Otonomi Daerah”, Wonogiri 23 Juli 2005. 3


Komentar