BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Visi Reformasi Pembangunan dalam rangka penyelamatan dan Reformasi kehidupan nasional yang tertera dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.
Perwujudan masyarakat yang berkualitas tersebut menjadi tanggung jawab pendidikan terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subyek yang makin berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional pada masing-masing bidangnya. Hal tersebut sangatlah diperlukan tertutama untuk menyongsong era pasar bebas di lingkungan negara-negara ASEAN, seperti AFTA (Asean Free Trade Area), AFLA (Asean Free Labour Area), maupun di kawasan negara-negara Asia Pasifik (APEC).
Dalam kaitannya dengan pendidikan, Pendidikan diartikan sebagai: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003: 5)
Memperhatikan pengertian pendidikan di atas, maka pendidikan merupakan sebuah proses yang terjadi secara terus menerus, dan berjenjang, sehingga pada akhirnya tujuan dari pendidikan tersebut tercapai. Guna menunjang keberhasilan proses pendidikan maka diperlukan sarana dan prasarana yang mendukung berupa sebuah lembaga pendidikan atau sekolah.
Sekolah inilah yang diartikan sebagai tempat dan budaya belajar, tempat proses yang menghasilkan kesadaran, sikap dan prilaku yang akan digunakan sebagai modal kemajuan dan jati diri. Mengingat sangat pentingnya fungsi sekolah, maka harus ada teknik pengelolaan sekolah atau manajemen pendidikan yang baik. Manajemen pendidikan yang baik dan handal diyakini mampu mendayagunakan semua sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efesien.
Kehandalan manajemen pendidikan salah satunya dtentukan oleh kualitas kepala sekolah. Pengalaman empirik menunjukkan bahwa sekolah yang berkinerja baik, karena dipimpin oleh kepala sekolah yang berkinerja baik, dan sekolah tersebut dapat menjadi tidak baik manakala diganti oleh kepala sekolah yang berkinerja tidak baik. Dapat dipahami, bahwa: “kepala sekolah sebagai manajer pendidikan yang unggul merupakan jaminan untuk memperoleh produk pendidikan yang terstandar”. (Suwondo, dalam Suara Daerah No. 06 TH.LIV/2004; 3)
Pada akhirnya, bagaimana cara agar kepala sekolah dapat mengelola sekolah secara efektif dan efesien sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai?. Pertanyaan ini yang mendasari penulisan makalah ini.
1.2 Pembatasan Masalah
Agar penyusunan makalah ini terfokus, maka penulis akan menentukan pembatasan masalah yang akan dibahas, yaitu sebagai berikut:
1. Apakah peranan kepala sekolah mempengaruhi efektivitas dan efesiensi dalam pengelolaan sekolah?
2. Apakah peranan guru mempengaruhi efektivitas dan efesiensi dalam pengelolaan sekolah?
1.3 Hipotesis
Pengelolaan sekolah akan efektif dan efesien apabila kepala sekolah yang didukung guru mempunyai kemampuan dan kecakapan dalam memimpin sekolah
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
Berdasarkan handouts Tim Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat mengenai program pelayanan peningkatan mutu pendidikan tuntas di Jawa Barat Tahun 2004 hal. 12, bahwa pengukuran keefektifan sekolah terdiri dari 2 faktor, yaitu:
1. Internal, terdiri dari Guru, Kepala Sekolah dan Tata Usaha (TU);
2. Eksternal, terdiri dari Pengawas , Dewan sekolah, Pemerintah.
Dalam hal ini, penulis hanya memfokuskan pada faktor yang sering bersentuhan dalam keseharian, yaitu Faktor Internal.
2.1 Peran Kepala Sekolah Dalam Pengelolaan Sekolah Yang Efektif dan Efesien.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) akan berhasil jika ditopang oleh kemampuan profesional kepala sekolah dalam memimpin dan mengelola sekolah secara efektif dan efesien, serta mampu menciptakan iklim organisasi di sekolah yang kondusif untuk proses belajar mengajar (Tim Kelompok Kerja MBS Jawa Barat, 2003: 61)
Kepala sekolah juga harus mampu mengkoordinasikan, menggerakan dan menserasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, “kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang memadai agar mampu mengambil inisiatif untuk meningkatkan mutu sekolah”. (Tim Kelompok Kerja MBS Jawa Barat, 2003: 52-53)
Menurut Tim Kelompok Kerja MBS Jawa Barat (2003: 53), bahwa: “kepala sekolah juga harus melakukan pengelolaan terhadap tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kerja, hubungan kerja sampai pada imbal jasa.” Pengembangan tenaga kependidikan harus dilakukan secara terus menerus, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat. Dengan demikian, tenaga kependidikan harus selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.
Kepala sekolah harus mampu menanamkan budaya mutu di sanubari semua warga sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Menurut Tim Kelompok Kerja MBS Jawa Barat (2003: 54), budaya mutu memilik elemen-elemen sebagai berikut:
a. Informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang;
b. Kewenangan harus sebatas tanggung jawab;
c. Hasil harus diikuti rewards atau punishments;
d. Kolaborasi dan sinergi harus merupakan dasar kerja sama;
e. Warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya;
f. Atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan;
g. Imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya;
h. Warga sekolah merasa memiliki sekolah.
Keterbukaan atau transfaransi dalam pengelolaan sekolah harus dilakukan oleh kepala sekolah. Keterbukaan atau transfaransi ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, penggunaan uang, dan sebagainya. Aktivitas-aktivitas ini selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
Tim Kelompok Kerja MBS Jawa Barat (2003: 56) berpendapat, bahwa: “Kepala Sekolah harus melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan”. Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses pembelajaran di sekolah.
Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus. Perbaikan secara terus menerus harus merupakan kebiasaan warga sekolah, tiada hari tanpa perbaikan. Di dalam hal ini, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya untuk menerapkan manajemen mutu.
Kepala sekolah harus responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan, juga selalu tanggap terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Oleh karena itu, kepala sekolah harus selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat bersama dengan tenaga pendidik yang lainnya. Lebih lanjut, kepala sekolah harus mampu mengantisifasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi.
Hal yang penting juga berkaitan dengan profesionalisme kepala sekolah. Faktor ini sangat strategis dalam upaya menentukan mutu dan kinerja sekolah. Profesionalisme kepala sekolah akan membantu mencapai Proses Belajar Mengajar (PBM) yang bermutu serta prestasi siswa yang baik.
Semua Pemaparan di atas berkaitan dengan peran kepala sekolah sebagai pemimpin senada dengan pendapat Ordway Tead (dalam Kartono, 1994: 53-57), bahwa: “metode kepemimpinan adalah sebagai berikut:
1. Memberi perintah
Perintah itu keluar dari situasi formal dan relasi kerja, karena itu perintah adalah fakta fungsional pada organisasi, kedinasan atau jawatan pemerintah dan swasta, berbentuk: Intruksi, komando, peraturan tata tertib, standar praktek atau perilaku yang harus dipatuhi. Perintah biasanya sudah tercakup dalam tugas, kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh setiap individu anggota kelompok.
2. Memberi celaan dan pujian
Celaan harus diberikan secara objektif dan tidak bersifat subyektif juga tidak disertai emosi-emosi yang negatif (benci, dendam, curiga dan lain-lain). Celaan itu sebaiknya berupa teguran dan dilakukan secara rahasia tidak secara terbuka di muka banyak orang. Celaan diberikan dengan maksud agar orang yang melanggar atau berbuat kesalahan menyadari kekeliruannya dan bersedia memperbaiki perilakunya. Celaan juga diberikan denga nada suara yang “menyenangkan” agar tidak menimbulkan rasa dendam dan sakit hati.
Sebaiknya, pujian supaya diberikan, sebab pribadi yang bersangkutan telah melakukan tugasnya dengan baik dan mampu berpretasi. Pujian ini bisa memberikan semangat, kegairahan kerja, tenaga baru, dan dorongan emosional yang segar. Pujian seyogyanya diberikan secara terbuka, terang-terangan di muka umum.
3. Memupuk tingkah laku pribadi pemimpin yang benar
Pemimpin harus bersifat obyektif dan jujur. Ia harus menjauhkan diri dari rasa pilih-kasih atau favoritisme; karena hal ini bisa menurunkan moral anggota-anggota lainnya, menumbuhkan keraguan, kemuakan serta kecemburuan sosial. Juga bisa mengurangi respek anggota pada pemimpin.
4. Peka terhadap saran-saran
Sifat pemimpin itu harus luwes dan terbuka, dan peka pada saran-saran eksternal yang positif sifatnya. Dia harus menghargai pendapat-pendapat orang lain, untuk kemudian mengkombinasikannya dengan ide-ide sendiri. Dengan begitu dia bisa membangkitkan inisiatif kelompok untuk memberikan saran-saran yang baik.
5. Memperkuat rasa kesatuan kelompok
Untuk menghadapi macam-macam tantangan luar dan kekomplekan situasi masyarakat modern, perlu pemimpin yang bisa menciptakan rasa kesatuan kelompoknya, dengan loyalitas tinggi dan kekompakkan yang utuh. Hal ini bida meningkatkan moral kelompok dan esprit de corps (semangat kelompok).
Usaha menciptakan semangat kesatuan ini antara lain dengan: pemberian pakaian seragam, lencana, emblim, pici, jaket, insigne (tanda kehormatan), dan lain-lain.
6. Menciptakan disiplin diri dan disiplin kelompok.
Setiap kelompok akan mengembangkan tata cara dan pola tingkah laku yang hanya berlaku dalam kelompok sendiri, yang harus ditaati oleh seluruh anggota. Hal ini penting untuk membangkitkan rasa tanggung jawab, dan disiplin kelompok.
Disiplin kelompok bisa berhasil bila pemimpin bersikap arif bijaksana memberikan teladan, berdisiplin, dan menerapkan seluruh prosedur dengan konsekuen.
7. Meredam kabar angin dan issue-issue yang tidak benar
Kesatuan dan efektivitas kerja dari kelompok bisa diguncang oleh gangguan kabar-kabar angin dan desas-desus yang tidak benar, beserta fitnahan-fitnahan dari luar, yang diarahkan pada perorangan/pada organisasi secara keseluruhan.
Maka pemimpin berkewajiban untuk mengusut sampai tuntas sumber kabar angin tadi. Dan memberikan peringatan keras/sanksi tajam pada orang-orang yang mempunyai rasa dendam, mengalami frustasi, dan mungkin tengah terganggu ingatannya, sehingga tanpa sadar menyebarkan kabar-kabar angin yang buruk
Dalam hal ini, pemimpin harus segera menetralkan situasi, dengan jalan memberikan penerangan, dan kebijaksanaan baru yang akan ditetapkan. Alat yang efektif untuk menanggulangi desas-desus ialah: penerangan, penyiaran dan pendidikan.”
Adapun menurut Makkasau (1985: 198), bahwa: “dalam rangka melaksanakan kegiatan/proses kepemimpinan, maka dianggap perlu untuk mengetahui fungsi-fungsi kepemimpinan. Fungsi kepemimpinan yang dimaksud di sini antara lain:
1. Sebagai figur yang melambangkan kewibawaan organisasi atau satuan atau lembaga atau dinas atau instansi yang dapat dibanggakan;
2. Sebagai figur komunikator antara anggota dengan pihak-pihak lain;
3. Sebagai pelindung dan pengayom terhadap anggota atau bawahan atau karyawan;
4. Sebagai figur yang menimbulkan unsur kepercayaan, kepatuhan, kesetiaan atau loyalitas;
5. Sebagai figur pengarah, pembimbing, pemberi petunjuk, pendidik dan sebagai figur yang mengarahkan kegiatan untuk mencapai tujuan atau sasaran.”
Agar pengelolaan sekolah efektif dan efesien, Kepala sekolah sebagai pemimpin di sekolah harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Sedangkan menurut Handayaningrat (1990: 70-72), sifat-sifat kepemimpinan meliputi antara lain:
1. Jujur
Sifat jujur merupakan perpaduan daripada keteguhan watak, sehat dalam prinsip-prinsip moral, tabiat suka akan kebenaran, tulus hati dan perasaan halus mengenai etika keadilan dan kebenaran.
2. Berpengetahuan
Berpengetahuan adalah totalitas daripada kecerdasan dan pengertian luas yang diperoleh dengan jalan belajar terus menerus.
3. Berani (Fisik dan Moral)
Keberanian merupakan suatu tingkatan mental yang mengakui adanya ketakutan atau kekhawatiran terhadap bahaya-bahaya atau kemungkinan-kemungkinan celaan.
4. Mampu mengambil keputusan
Kemampuan mengambil keputusan adalah kecakapan untuk memecahkam persoalan dengan cepat dan tepat serta menyatakan pendapatnya mengenai tindakan-tindakan yang harus dilaksanakan secara tepat pula.
5. Dapat dipercaya
Dapat dipercaya merupakan kepastian pelaksanaan kewajiban dengan setepat-tepatnya.
6. Berinisiatif
Berinisiatif adalah tindakan yang sehat dan tepat yang dilakukan atas dasar pemikiran sendiri pada waktu tidak ada perintah-perintah tentang bagaimana mengatasi kesukaran atau petunjuk-petunjuk dari atasan.
7. Bijaksana
Bijaksana merupakan tindakan dan sikap yang menggambarkan pengertian yang sehat dan tepat mengenai jiwa seseorang.
8. Tegas
Ketagasan merupakan kemampuan mengambil keputusan atau tindakan yang tepat yang didasarkan kepada keyakinan, bahwa keputusan atau tindakan itu akan membawa keuntungan dalam kepentingan atau pelaksanaan tugas.
9. Adil
Sifat adil adalah kualitas keadaan tidak berat sebelah dan keteguhan dalam pelaksanaan pimpinan.
10. Menjadi Teladan
Teladan merupakan sifat yang paling utama dalam kepemimpinan. Teladan berarti dapat menunjukkan sikap dan perilaku yang baik, sesuai norma-norma kepribadian Bangsa Indonesia pada umumnya.
11. Tahan Uji (ulet)
Tahan uji adalah stamina mental dan fisik dari kemampuan seseorang untuk bertahan terhadap sakit, lelah, putus asa, dan kesukaran atau kemalangan.
12. Loyalitas
Loyalitas adalah kualitas kesetiaan seseorang terhdap negara, bangsa dan tanah air, terhadap tugas, kesatuan, atasan dan bawahannya.
13. Tidak mementingkan diri sendiri
Tidak mementingkan diri sendiri adalah menghindarkan diri daripada terpenuhinya kebutuhan dan kemajuan serta kesenangan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain.
14. Antusias
Antusias adalah cara menunjukkan dan memperlihatkan perhatian yang tulus ikhlas dan menggembirakan serta semangat berkobar-kobar dalam pelaksanaan kewajiban.
15. Simpatik
Simpatik berarti mampu menunjukkan sikap dan perilaku yang sopan serta dapat menghargai setiap anggota bawahannya.
16. Rendah hati
Rendah hati adalah menunjukkan sikap yang menghartgai pada setiap orang yang dihadapi, tanpa menghilangkan/merendahkan kedudukan yang dimiliki.”
Seorang kepala sekolah perlu keterampilan dalam mengubah gaya kepemimpinan sesuai dengan situasi dan kondisi bawahannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Thoha (1995: 66), bahwa: “ gaya kepemimpinan situasional adalah gaya kepemimpinan yang terdiri dari:
a. Gaya Intruksi
perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan rendah dukungan dirujuk sebagai instruksi, karena gaya ini dicirikan dengan komunikasi satu arah.
b. Gaya Konsultasi
Perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan tinggi dukungan dirujuk sebagai konsultasi, karena dalam menggunakan gaya ini pemimpin masih banyak memberikan pengarahan dan masih membuat hampir sama dengan keputusan, tetapi hal ini diikuti dengan meningkatkan banyaknya komunikasi 2 arah dan perilaku mendukung, dengan berusaha mendengar pengikut tentang keputusan yang dibuat, serta ide-ide dan saran-saran mereka.
c. Gaya Partisipasi
Perilaku pemimpin yang tinggi dukungan dan rendah pengarahan dirujuk sebagai partisipasi, karena posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dipegang secara bergantian.
d. Gaya Delegasi
Perilaku pemimpin yang rendah dukungan dan rendah pengarahan dirujuk sebagai delegasi, karena pemimpin mendiskusikan masalah bersam-sama dengan bawahan sehingga tercapai kesepakatan mengenai definisi masalah yang kemudian proses pembuatan keputusan didelegasikan secara keseluruhan kepada bawahan.”
2.2 Peran Guru Dalam Pengelolaan Sekolah Secara Efektif dan Efesien
Pada suatu masa, ketika penulis masih kecil, masih usia sekolah dasar dan hidup di lingkungan pegunungan terpencil, wilayah Selatan Kabupaten Bandung berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Wilayah itu merupakan suatu komunitas masyarakat yang masih kurang dalam bidang informasi dan komunikasi. Diajak bapak, yang seorang kepala desa untuk menjemput guru baru untuk sebuah sekolah dasar.
Terlihat antusias masyarakat yang menghormati seorang guru. Penghormatan tersebut hampir setara dengan penghormatan kepada seorang kepala desa yang sudah bertahun-tahun mengabdi. “Kang Guru” atau “Neng Guru”, panggilan tanpa menyebut nama pun sering terlontar dari mulut-mulut polos masyarakat.
Dari prolog di atas, tercermin suatu penghargaan yang begitu tinggi bagi profesi guru. Tanpa melihat latar belakang apapun dari seorang guru, masyarakat begitu menghormati pahlawan tanpa tanda jasa ini, sehingga di masyarakat guru sering diartikan, wajib digugu dan ditiru.
Melihat fenomena ini, maka wajarlah apabila di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Pasal 1 ayat (1) menyebutkan pengertian guru, Yaitu: “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.”
Senada dengan undang-undang di atas, Hakim (dalam Suara Guru No.7 TH.LII/2002:28)berpendapat: “profesi guru atau keguruan adalah jabatan yang dilandasi dengan berbagai keahlian yang bertalian dengan keguruan.”
Begitu istimewa profesi seorang guru yang merupakan subkomponen dari pendidik dan tenaga kependidikan yang yang sangat menentukan tinggi atau rendahnya mutu pendidikan. Hal ini disebabkan oleh:
a. Kompetensi dan materi pembelajaran yang diajarkan dan ditugaskan oleh guru kepada siswa adalah kompetensi yang diperoleh siswa;
b. Pada hakikatnya guru mengajarkan kompetensi yang dikuasai. Jika guru tidak kompeten maka siswa tidak akan mampu mencapai standar kompetensi yang ditetapkan;
c. Manakala guru mengajarkan sesuatu yang salah, maka siswa akan memperoleh sesuatu yang salah;
d. Apabila guru kurang mampu memotivasi siswa, maka siswa akan kurang bersemangat untuk belajar;
e. Proses pembelajaran juga mengandung proses transfer sistem nilai. Kalau perilaku guru salah dalam mengajar, maka siswa akan memperoleh sistem nilai yang tidak baik;
f. Keefektifan guru mengajar sangat tergantung pada metode pembelajaran yang digunakan;
g. Akselerasi perkembangan sains dan teknologi dapat menjadi muatan pembelajaran jika guru terkait secara proaktif mengikuti perkembangannya, baik secara mandiri maupun melalui penyegaran;
h. Tertanamnya nilai-nilai hak azasi manusia, demokrasi, kejujuran dan budi pekerti sangat dipengaruhi oleh perilaku guru dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa guru memiliki peranan yang sangat sentral dan strategis dalam mencerdaskan bangsa yang kompeten dan berakhlak mulia. Oleh karena itu seorang guru sangatlah dituntut pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi juga pemahaman terhadap metodologi pembelajaran. Guru juga harus siap dimana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Pasal 6, yang menyebutkan kedudukan guru, yaitu: ”Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.”
Memahami kedudukan guru dalam undang-undang tersebut, adalah suatu profesi yang sangat berat untuk dijalani seorang manusia tanpa latar belakang dan minat yang kuat untuk menjadi seorang guru. Hal ini senada dengan prinsip-prinsip profesional guru dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1 ayat (1), yaitu: “Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idelaisme;
b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan ahlak mulia;
c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya;
d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya;
e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.”
Kedudukan dan prinsip-prinsip profesi guru mendukung untuk efektivitas seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Menurut Tim Kelompok Kerja MBS Jawa Barat(2003:44):”beberapa aspek yang menjadi orientasi ke arah pencapaian efektivitas proses pembelajaran yang berkaitan dengan guru sebagai pendidik, yaitu sebagai berikut:
1. Apresiasi guru terhadap pengembangan kurikulum dan implikasinya
Guru dituntut mempunyai kemampuan dalam pengembangan kurikulum secara dinamik sesuai dengan potensi sekolah berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Keseimbangan Etika, Logika, Estetika dan Kinestika
kurikulum merupakan input instrumental yang digunakan untuk menyeimbangkan pengalaman belajar yang mengembangkan etika, estetika, logika dan kinestika.
b. Kesamaan Memperoleh Kesempatan
Setiap orang berhak menerima pendidikan yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya. Untuk itu, perlu adanya jaminan keberpihakan kepada peserta didik yang kurang beruntung dari segi ekonomi dan sosial, yang memerlukan bantuan khusus, berbakat dan unggul.
c. Memperkuat Identitas Nasional
Kurikulum harus menanamkan dan mempertahankan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia melalui pemahaman terhadap pertumbuhan peradaban Bangsa Indonesia dan sumbangan Bangsa Indonesia terhadap peradaban dunia.
d. Menghadapi Abad Pengetahuan
Globalisasi dalam bidang informasi, komunikasi dan teknologi menyebabkan semakin meningkatkan perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Pasar bebas, kemampuan bersaing, serta kemampuan penguasaan pengetahuan dan teknologi menjadi semakin penting untuk kemajuan suatu bangsa.
e. Tantangan Teknologi Informasi
Revolusi dalam teknologi informasi dan komunikasi merupakan tantangan fundamental yang dapat mengubah masyarakat biasa ke dalam masyarakat informasi dan masyarakat pengetahuan.
f. Mengembangkan Keterampilan-hidup
Pendidikan perlu menyiapkan peserta didik agar mampu mengembangkan keterampilan hidup untuk menghadapi tantangan hidup yang terjadi di masyarakatnya.
g. Mengintegrasikan Unsur-Unsur Penting dalam Kurikuler
Kurikulum perlu memuat dan mengintegrasikan pengetahuan dan sikap tentang budi pekerti, hak azasi manusia, pariwisata, lingkungan hidup dan kependudukan, kehutanan, ekonomi, pencegahan konsumerisme, pencegahan HIV/AIDS, penangkalan penyalahgunaan Narkoba, perdamaian, demokrasi dan peningkatan konsensus pada nilai-nilai universal.
h. Berpusat Pada Anak Sebagai Pembangun Pengetahuan
Upaya untuk memandirikan peserta didik untuk belajar, berkolaborasi, membantu teman, mengadakan pengamatan dan penilaian diri untuk suatu refleksi akan mendorong mereka untuk membangun pengetahuannya sendiri. Dalam hal ini, peran utama guru adalah sebagai fasilitator belajar.
i. Penilaian Berkelanjutan dan Komprehensif
Kurikulum harus menanggapi kebutuhan belajar peserta didik untuk mengetahui hasil belajarnya.”
Adapun Tujuan dan Fungsi Penilaian menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 012/U/2002, Tentang Sistem Penilaian di Sekolah Dasar, Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Luar Biasa Tingkat Dasar, dan Madrasah Ibtidaiyah, Bab II Pasal 2, adalah sebagai berikut:
(1) Penilaian hasil belajar secara sistematis dan berkelanjutan bertujuan untuk:
a. menilai hasil belajar siswa di sekolah;
- mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat;
- mengetahui mutu pendidikan pada sekolah.
(2) Penilaian hasil belajar berfungsi sebagai:
a. alat penjamin, pengawasan dan pengendalian mutu pendidikan;
b. bahan pertimbangan dalam penentuan kenaikan kelas, kelulusan dan tamat belajar siswa pada sekolah;
c. bahan pertimbangan masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi;
d. umpan balik dalam perbaikan program pembelajaran pada sekolah;
e. alat pendorong dalam meningkatkan kemampuan siswa
2. Kreativitas Guru Dalam Aplikasi Teknologi Pembelajaran
Teknologi pembelajaran sebagai penerapan ilmu pengetahuan ilmiah tentang belajar manusia pada tugas-tugas praktis pengajaran dan belajar. Teknologi pembelajaran sering didefinisikan sebagai penerapan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah, sebuah pandangan yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak terpisahkan. Bertolak dari konsep yang dikemukan, guru dituntut mempunyai pemahaman konsep teoritis dan praktis berkenaan dengan disain, pengembangan, pemakaian, manajemen dan evaluasi pembelajaran serta pengelolaan sumber belajar.
3. Profesionalisme
Profesionalisme sangat penting dalam upaya menentukan mutu dan kinerja sekolah. Tanpa profesionalisme, guru dan tenaga kependidikan yang lain akan sulit mencapai proses belajar mengajar yang bermutu serta prestasi siswa yang tinggi.
Adapun menurut Hakim (dalam Suara Guru No.7 TH.LII/2002: 29-30), bahwa:”untuk dapat meningkatkan mutu belajar para peserta didik perlu diperhatikan beberapa hal di bawah ini:
1. Tujuan
Tujuan pengajaran merupakan faktor yang paling pokok, sebab semua faktor yang ada dalam situasi pengajaran, termasuk PMB diarahkan dan diupayakan semata-mata untuk mencapai tujuan;
2. Materi Pelajaran
Dilihat dari hakikatnya, ilmu atau materi pelajaran memiliki karakteristik yang berbeda-beda, yang dapat membawa implikasi terhadap penggunaan cara dan teknik proses belajar mengajar. Atas dasar ini pula, tiap bidang studi memiliki metode mengajar secara khusus yang disebut metodik.
3. Siswa
Siswa adalah pihak yang berkepentingan di dalam proses belajar mengajar. Sebab tujuan yang harus dicapai semata-mata-untuk mengubah tingkah laku para siswa;
4. Fasilitas
Bila seorang guru merencanakan menggunakan metode demontrasi dalam mengajarkan suatu keterampilan dengan menggunakan alat tersebut ditetapkan, tetapi ternyata alat tersebut kurang lengkap atau sama sekali tidak ada, sudah barang tentu proses belajar mengajar tidak dapat dilaksanakan;
5. Waktu
a. yang menyangkut jumlah waktu ialah berapa jam pelajarankah waktu yang tersedia untuk proses belajar mengajar itu;
b. yang menyangkut kondisi waktu adalah kapan dan jam berapa pelajaran itu dilaksanakan. Tentu akan berbeda kondisi pagi, siang, sore serta malam.
6. Guru
Inilah yang merupakan faktor penentu, sebab pertimbangan semua faktor tersebut di atas akan sangat tergantung pada gurunya sendiri. Bahan lengkap, kurikulum baik, fasilitas cukup, waktu memadai, biaya ada, belum merupakan jaminan akan mendapati hasil yang baik, jika unsur gurunya tidak tersentuh (upaya perbaikan dan pembaharuan) termasuk faktor pendidikan, kemampuan, dedikasi, penampilan, kedisiplinan dan lain sebagainya
7. Metode
Bagaimanakah caranya guru merangsang siswa aktif berpikir dan merasakan materi yang disajikan. Dalam hal ini tentunya guru harus memilih dan menggunakan teknik-teknik yang dapat merangsang siswa berpikir dan merasakan;
8. Lingkungan (Miliu)
Lingkungan yang dimaksud di sini adalah lingkungan belajar, yaitu segala sesuatu yang mempengaruhi proses dan hasil belajar;
9. Motivasi
Suatu kegiatan atau tingkah laku individu merupakan manifestasi usahanya untuk memuaskan kebutuhan dan mencapai tujuan. Demikian pula dalam PBM selalu ada pendorong dan tujuan yang ingin dicapai. Belajar merupakan salah satu aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya. Semakin besar dorongan dan semakin jelas tujuannya, semakin aktif pula siswa melakukan kegiatan belajar;
10. Komunikasi dan interaksi
Dalam proses belajar sudah barang tentu terjadi komunikasi dan interaksi,bahkan pada gilirannya akan timbul pula interprestasi siswa terahadap materi yang diajarkan, sehingga dapat mengerti benar hal tadi, yang pada akhirnya siswa mampu memberikan penjelasan, ilustrasi sampai kepada penafsiran;
11. Tutor Sebaya
Tutor sebaya adalah pemandu belajar yang berasal dari siswa itu sendiri, baik yang paling pandai, yang dipilih dan atau ditunjuk pada satu situasi ataupun kelompok tertentu;
12. Pemberian PR yang efektif
Pemberian PR ini ternyata memberikan dampak yang psitif bagi para siswa, asal pemberiannya dilakuklan denga cara yang efektif, dan siswa mau mengerjakannya dengan baik.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya mengenai pengelolaan sekolah yang efektif dan efesien, maka penyusun membuat kesimpulan sebagai berikut:
1. Peranan kepala sekolah dalam pengelolaan sekolah akan efektif dan efesien apabila kepala sekolah memiliki kemampuan profesional, kemampuan mengkoordinasikan, menggerakkan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia, kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang memadai, melakukan pengelolaan terhadap tenaga kependidikan, kemampuan menanamkan budaya mutu, keterbukaan atau transparansi, melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan rensponsif dan antisipatif terhadap kebutuhan, memilik metode kepemimpinan, memahami fungsi kepemimpinan, memiliki sifat-sifat kepemimpinan dan memiliki keterampilan mengubah gaya kepemimpinan sesuai situasi;
2. Peranan guru dalam pengelolaan sekolah akan efektif dan efesien apabila guru memiliki kompetensi, mampu memotivasi siswa, teladan bagi siswa, menguasai metode pembelajaran, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengikuti perkembangan sains dan teknologi, apresiasi terhadap pengembangan kurikulum dan implikasinya, memiliki kreatifitas dalam aplikasi teknologi, memiliki profesionalisme, memiliki kemampuan teori dan konsep.
3. Guru adalah faktor sentral dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan kepala sekolah adalah faktor penentunya.
4. Hipotesis yang penyusun kemukakan dalam Bab I terbukti secara teoritis bahwa Pengelolaan sekolah akan efektif dan efesien apabila kepala sekolah yang didukung guru mempunyai kemampuan dan kecakapan dalam memimpin sekolah
3.2 Saran
1. Bagi Pemerintah
Mengingat sangat beratnya tugas yang diemban oleh kepala sekolah, guru dan tenaga pendidikan lainnya demi mencerdaskan kehidupan bangsa, agar seyogyanya pemerintah memperhatikan kesejahteraan, menerapkan suatu sistem pendidikan yang baku dan tidak berubah-ubah dalam jangka waktu yang relatif singkat.
2. Bagi Masyarakat
Tugas mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah hanya tugas dari kepala sekolah, guru dan tenaga pendidikan lainnya, tetapi merupakan tanggung jawab kita bersama demi kemajuan Bangsa Indonesia.
3. Rekan Pendidik
Senantiasa menggali dan menambah pemahaman terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengedapankan profesionalisme.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Engkoswara, dkk, 1993, Pedoman Penyusunan Karya Ilmiah Untuk Angka Kredit Guru SD, Bandung: PT. Bandung Intermediary Utama
Handayaningrat, Soewarno, 1990, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, Jakarta: CV. Haji Masagung.
Kartono, Kartini, 1994, Pemimpin dan Kepemimpin; Apakah Pemimpin Abnormal itu?, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Makkasau, M.A., 1985, Metoda Analisa Sistem; Pola Operasional Administrasi, Bandung: Sinar Baru.
Thoha, Miftah, 1995, Kepemimpinan Dalam Manajemen; Suatu Pendekatan Perilaku, Jakarta Utara: PT. RajaGrafindo Persada.
Tim Kelompok Kerja MBS Jawa Barat, 2003, Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat, Bandung: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.
2. Dokumen
a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
c. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
d. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 004/O/2004 Tentang Uraian Tugas Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan.
e. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor:: 031/O/2002 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktoran Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
f. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 087/O/2003 Tentang Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan.
g. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 012/U/2002 Tentang Sistem Penilaian di Sekolah Dasar, Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Luar Biasa Tingkat Dasar, Madrasah Ibtidaiyyah.
h. Handouts Tim Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan, 2004, Program Pelayanan Peningkatan Mutu Pendidikan Tuntas di Jawa Barat, Bandung: Departemen Pendidikan Nasional
3. Majalah
Suara Guru Nomor: 6 TH. LIV/2004
Suara Guru Nomor: 4 TH. LIV/2004
Suara Guru Nomor: 389 September 2003
Suara Guru Nomor: 7 TH. LII/2002
Komentar
Posting Komentar
Bagi Kawan-Kawan Mohon untuk tidak memberikan Komentar SPAM, hal ini untuk kita bisa saling menghargai....
Untuk Sementara waktu admin akan memakai moderasi komentar